• KONDISI EKONOMI MASA DEMOKRASI TERPIMPIN


    Dalam hal ini, untuk membahas dan menjelaskan kondisi perekonomian masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin kami membagi menjadi dua bagian. Bagian pertama kami merasa perlu terlebih dahulu mengetahui dan memahami pemikiran-pemikiran Soekarno mengenai ekonomi pada masa itu. Karena dari pemikiran-pemikiran Soekarno inilah yang nantinya akan sangat mempengaruhi hal-hal yang akan dibahas pada bagian kedua seperti landasan ekonomi dan langkah-langkah pelaksanaan sistem ekonomi beserta kebijakan perekonomian masa Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, pada bagian kedua kami akan menguraikan sistem ekonomi beserta implementasi kebijakan ekonomi tersebut.

    1. Pemikiran-pemikiran Soekarno
    Membahas kondisi perekonomian masa Demokrasi Terpimpin, perlu terlebih dahulu melihat pemikiran-pemikiran ekonomi yang berkembang pada masa itu. Ini dikarenakan pemikiran ekonomi para tokoh secara otomatis akan sangat mempengaruhi konsep serta implementasi kebijakan ekonomi yang nantinya di diambil dan dijalankan pada masa tersebut. Dalam kesempatan kali ini kami akan mengkaji kondisi ekonomi pada masa demokrasi terpimpin, menurut pemikiran yang berkembang dari tokoh terkait yaitu Presiden Soekarno. Mengapa Soekarno ? karena sebagai ‘pemimpin demokrasi’, Soekarno telah menjadi tokoh yang paling berpengaruh pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Pemikiran-pemikiran Soekarno mengenai ekonomi pada masa itu, tertuang dalam teks pidato-pidatonya yang kami rangkum dan akan kami uraikan sebagai berikut :

     Dalam pidato yang berjudul “kembali ke Rel Revolusi” (1959).
    Soekarno menyatakan bahwa tujuan jangka pendek yang ingin ditempuh pada masa Demokrasi Terpimpin ialah: program Kabinet Kerja yang dinilai amat sederhana, meliputi fokus pada sandang-pangan, dan keamanan, kemudian ditopang dengan melanjutkan perjuangan anti imperialisme, ditambah dengan mempertahankan kepribadian bangsa di tengah-tengah tarikan-menarik ke kanan dan ke kiri, (antara hagemoni sosialis-liberalis) yang sedang berjalan dalam pergolakan dunia menuju kepada satu kekuatan baru.
    Dan tujuan jangka panjang, ialah: menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, melenyapkan imperialisme di mana-mana, dan mencapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia yang kekal dan abadi. Maka untuk menanggulangi segala masalah-masalah berhubungan dengan tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang tersebut, Soekarno menyatakan kita tidak dapat mempergunakan sistem yang sudah-sudah dan alat-alat (tools) yang sudah-sudah. Sistem liberalisme harus dibuang jauh-jauh, demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin harus ditempatkan sebagai gantinya. Susunan peralatan yang dulu ternyata tak efisien, harus dibongkar, dan diganti dengan susunan peralatan yang baru. Ordening baru dan herordening baru harus diadakan, agar demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin dapat berjalan. Menurut pemikiran Soekarno, inilah yang disebut retooling for the future. Dalam hal retooling di bidang ekonomi, perlu diadakan retooling alat-alat produksi dan alat-alat distribusi.
    Alat-alat produksi dan alat-alat distribusi semuanya harus di-retool dan semuanya harus direoganisasi, harus berpedoman ke arah pelaksanaan Pasal 33 Undang-undang 1945 dengan mempergunakan relnya demokrasi terpimpin. Selama kita mempunyai beberapa badan yang diserahi oleh negara untuk mengurus dan mengembangkan beberapa bidang produksi dan distribusi, tetapi bukan produksi dan distribusi itu menjadi teratur-beres dan berkembang, tetapi badan-badan itu menjadi sarangnya orang-orang yang mamadet-madet kan isi kantungnya sendiri, orang-orang yang menjadi kaya-raya, orang yang menjadi milyuner!
    Daar moet een eind aan komen! Soekarno berpendapat keadaan yang demikian itu harus diubah! Dan bukan saja badan-badan itu harus di-retool, tetapi juga semua alat-alat vital dalam produksi dan semua alat-alat vital dalam distribusi harus dikuasai atau sedikitnya diawasi oleh pemerintah. Tidak boleh lagi terjadi, alat-alat vital tidak dikuasai atau tidak diawasi Pemerintah, yang menyebabkan beberapa gelintir spekulan atau beberapa gelintir profiteur dapat mengguncangkan seluruh ekonomi nasional, dan mengkucar-kacirkan seluruh kebutuhan Rakyat.
    Disini terlihat jelas Soekarno menginginkan Demokrasi Terpimpinnya di iringi dengan semangat perjuangan revolusi yang anti imperialisme dan disertai retooling alat produksi dan alat distribusi agar pemerintah leluasa untuk menguasai dan mengawasi seluruh alat-alat vital milik Negara demi perekonomian nasional yang stabil.

     Dalam pidato yang berjudul “Bangsa yang Dihormati dan Dikagumi” (1962).
    Soekarno menyatakan, dengan selesainya soal keamanan, dan dengan selesainya soal Irian Barat, maka modal pemerintah untuk memecahkan ekonomi akan sangat bertambah. Dulu pernah Soekarno mengatakan, bahwa untuk menyelesaikan tugas keamanan saja, 50 persen dari seluruh kegiatan nasional dicurahkan kepada itu, dan kemudian, ditambah dengan tugas TRIKORA, jumlah ini menjadi lebih besar lagi! Hampir-hampir tiga peremat dari kegiatan nasional negara, digunakan untuk menyelesaikan keamanan dan menjalankan Trikora itu. Jelasnya lebih dari 70 persen dari Kegiatan Nasional negara, ditumplekkan ke arah itu! Lebih dari 70 persen!. Soekarno mencoba meyakinkan, bahwa inilah salah satu penyebab terbesar yang membawa kesulitan dalam kehidupan ekonomi. Dalam hal ini Soekarno memberi penjelasan sekaligus meminta pengertian dari para hadirin pada saat itu, bahwa dengan ditumplekkannya lebih daripada 70 persen Kegiatan Nasional itu, menyebabkan program “Sandang-Pangan” belum sama sekali terlaksana dengan cara yang memuaskan.
    Menurut Soekarno, duduk perkaranya, keamanan dan Irian Barat tidak bisa tunggu satu hari lebih lama lagi, sedangkan soal Sandang Pangan bisa kita pecahkan sambil berjalan, dan kedepannya akan lebih mudah, karena modal yang tadinya kita pergunakan untuk memulihkan keamanan dan mengembalikan Irian Barat itu, dapat dipergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi. Kecuali daripada itu, keadaan Sandang-Pangan toh masih boleh dikatakan lumayan, mengingat bahwa kita melemparkan hampir tiga perempat dari Kegiatan Nasional ke arah Keamanan dan Irian Barat itu?, mengingat bahwa kita ini setengah-setengah dalam keadaan perang?, mengingat bahwa pembangunan-pembangunan vital yang menelan ongkos milyar-milyar berjalan terus?, mengingat bahwa kita tahun yang lalu dihamuk oleh kemarau yang maha hebat, ditambah dengan hama baru yang bernama ganjur? Adakah orang Indonesia yang mati kelaparan? Adakah orang Indonesia yang telanjang tidak berpakaian?.
    Menurut kami, disini secara tersirat Soekarno berpandangan untuk lebih memilih mendahulukan proses politik daripada proses ekonomi.

     Dalam pidato yang berjudul “Revolusi Berjalan Terus” (1965).
    Dengan semangat yang menggelora Soekarno berbicara dihadapan hadirin yang ada. Bagaimana mengukur suatu revolusi dengan ukuran-ukuran revolusi? Segala-sesuatu hendaknya diamati: untuk kesejahteraan umum, ya atau tidak? Pro bono publico, inilah semboyan kita, artinya pro bono publico, untuk kesejahteraan umum! Sekalipun ada yang secara pribadi dirugikan, sekalipun ada yang laba perusahaannya berkurang, tapi asal pro bono publico, maka ia harus diterima. Sebaliknya, walaupun ada yang ditambah mobil, tambah bungalow, tambah koelkast, tambah air conditioner, walaupun ada yang menyekolahkan anaknya ke Eropa atau ke jabalkat sekalipun, tapi tidak pro bono publico, maka ia harus ditolak. Kecuali – kecuali, kataku – jika orang sudah menjadi orang asing di tanah air sendiri, atau sudah menjadi orang pribumi di negeri asing! Ya, kecuali jika orang sudah cidera, sudah durhaka, sudah khianat terhadap urusan revolusi!.
    Selanjutnya, Soekarno berargumen kita perlu melihat kepada kaum buruh dan kaum tani, karena mereka dapat dianggap sebagai sokoguru-sokoguru revolusi kita. Mereka memang pantas, pantas, tepat disebut sokoguru revolusi. Mereka bekerja, mereka menghasilkan, mereka berproduksi, tanpa mengeluh dan tanpa banyak cincong. Mereka mempunyai tuntutan-tuntutan mereka – sudah barang tentu – tetapi tuntutan-tuntutan itu biasanya masuk akal. Kalau kaum buruh ingin supaya upahnya bisa naik sedikit untuk pembeli buku sekolah untuk anaknya, apakah itu tidak masuk akal? Kalau kaum tani menghasratkan tanah, tanah “senyari bumi”, apakah itu tidak masuk akal? Soekarno teringat kepada seniman-seniman ludruk Marhaen yang mengatakan “Ia kalau punya pacul tapi ndak punya tanah, ke mana pacul itu mesti dipaculkan!” Tetapi ada di antara kita yang ndoro-ndoroan, yang main tuan besar, yang mengira dirinya eigenaar revolusi, mengira dirinya “presdir” republik, lalu maunya bukan dia berkurban buat republik, tapi republik berkurban buat dirinya!... orang-orang semacam ini, Pervenuparvenu, charlatan-charlatan, profitor-profitor macam ini ada baiknya kita promovir menjadi penghuni bui Nusakambangan.
    Soekarno selalu mengatakan bahwa perjuangan kelas harus ditundukkan kepada perjuangan nasional. Dan Soekarno merasa gembira bahwa jeritannya itu dipahami oleh sebagian besar rakyat. Di sisi lain, Soekarno juga memperingatkan, kalau koruptor-koruptor dan pencoleng-pencoleng kekayaan negara meneruskan “operasi” mereka yang sesungguhnya antirepublik dan antirakyat itu, maka jangan kaget jika pada satu waktu perjuangan antargolongan berkobar dan membakari kemewahan hidup kaum koruptor dan pencoleng itu.

    Sekadar tambahan :
    Menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku Pemikiran politik Indonesia 1945-1965, dijelaskan bahwa dengan keberhasilan pemerintahan Presiden Sukarno membebaskan Irian Barat pada bulan Agustus 1962, maka timbulah tekanan dari berbagai kelompok, di luar maupun di dalam negeri, agar pemerintah memusatkan perhatiannya pada masalah ekonomi yang sudah menjadi demikian peliknya. Akan tetapi kebijakan ekonomi yang mana yang akan dipilih? Pemilihan kebijakan inilah yang membawa pemerintah pada semacam persimpangan jalan. Pada bulan Mei 1963 Menteri Pertama, Djuanda, mengeluarkan serangkaian peraturan untuk mengurangi subsidi dan memangkas pengeluaran pemerintah. Ini perlu dilihat dalam konteks terjadinya perundingan International Monetary Fund (IMF) dan beberapa negara Barat yang menjanjikan memberikan pinjaman pada Indonesia apabila pemerintah mengambil langkah-langkah reformasi yang mereka anjurkan. Dikeluarkannya peraturan-peraturan Djuanda itu memadai bahwa para pendukung kebijakan ekonomi yang berhaluan kanan dan pro-Barat mendapat angin. Namun tantangan terhadap peraturan Mei itu pun sangat gencar, dan Presiden Sukarno sendiri tidak pernah merestuinya secara penuh.
    Dalam waktu empat bulan sesudahnya, konflik kanan-kiri menjadi panas sekali. Pertentangan mengenai peraturan Mei ini jalin menjalin dengan perbedaan sikap mengenai bagaiamana Indonesia harus menanggapi usulan pembentukan negara baru Malaysia. Presiden Sukarno pernah menyatakan sikap konfrontasi terhadap proyek yang diprakarsai Inggris ini, yang bertujuan mempersatukan Malaya, Singapura, Serawak, Sabah dan Brunei. Namun demikian tampaknya ia tertarik oleh sebuah gagasan Filipina yang didukung pulah oleh Amerika Serikat, yakni MA-PHIL-INDO, suatu aliansi tiga Negara Malaysia, Filipina dan Indonesia, di mana Indonesia akan menerima keberadaan negara baru Malayasia. Seandainya gagas itu diterima, maka hal itu akan merupakan kemenangan kekuatan kanan di Indonesia, dan kekuatan itu mungkin sekali akan memperoleh jalan pula bagi dilaksanakannya kebijakan di bidang ekonomi.
    Namun sekali lagi, seperti halnya pada tanggal 17 Oktober 1952, Presiden Sukarno mengambil kebutuhan penting yang menguntungkan golongan Kiri. Pada tanggal 15 September pemerintah memutuskan bahwa ia akan “menahan diri” dalam hal pengakuan terhadap Malaysia apabila kelahirannnya diumumkan pada esok hari. Pada tanggal 18 September kedutaan Inggris di Jakarta dibakar oleh sekolompok pemuda, dan banyak rumah-rumah orang Inggris di Jakarta dirampok dan dibakar. Pada tanggal 21 September pemerintah mengambil keputusan untuk memutuskan semua hubungan dengan Malaya dan Singapura. Beberapa hari kemudian IMF menegaskan bahwa paket pinjaman yang direncanakan, tidak akan diberikan kepada Indonesia.
    Pada akhir September 1963 transisi dari Demokrasi Terpimpin Awal ke Demokrasi Terpimpin Akhir telah selesai. Selama dua tahun berikutnya proses kemerosotan ekonomi semakin lama semakin cepat. Agitasi anti-imperialis semakin lama semakin tinggi nadanya. Yang terpokok, masyarakat Indonesia semakin lama semakin dikuasai polarisasi kanan-kiri yang akhirnya mencapai puncaknya pada tanggal 1 Oktober 1965.

    2. Sistem Ekonomi beserta Implementasi Kebijakan Ekonomi
    Sampai saat ditetapkannya Dekrit Presiden, dapat dikatakan bahwa keadaan ekonomi Indonesia pada saat itu sangat suram, hal tersebut disebabkan oleh kekacauan politik pada masa demokrasi liberal sehingga masalah ekonomi tidak ditangani secara serius, ditambah lagi tindakan ekonomi salah urus terhadap perusahaan-perusahaan asing, sehingga menambah beban di bidang ekonomi, dan di perparah dengan adanya pemberontakan-pemberontakan daerah seperti PRRI-Permesta sehingga menghambat pendapatan negara.
    Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia.

    Sistem Ekonomi Terpimpin
    Seiring dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun mengikuti ekonomi terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi terpimpin. Dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara serta menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut :
    1) Devaluasi.
    Pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai penuruan nilai uang (devaluasi), yaitu pendevaluasian mata uang Rp 1.000,00 dan Rp 500,00 menjadi Rp 100,00 dan Rp 50,00. Mata uang pecahan Rp 100,00 ke bawah tidak didevaluasi. Tujuan dilakukan Devaluasi yaitu guna membendung inflasi yang tetap tinggi, dan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, serta agar dapat meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.
    Selain itu dibelakukannya pembekuan terhadap semua simpanan di bank yang melebihi jumlah Rp 25.000,00. Namun, tindakan itu tidak dapat mengatasi kemunduran ekonomi, sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno menyampaikan “Deklarasi Ekonomi” yang ternyata tidak berhasil juga. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
    Devaluasi juga dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.


    2) Pembentukan Front Nasional.
    Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front nasional adalah sebagai berikut :
    Menyelesaikan Revolusi Nasional, melaksanakan pembangunan, dan mengembalikan Irian Barat.
    3) Pembentukan Kabinet Kerja.
    Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut, mencukupi kebutuhan sandang pangan, menciptakan keamanan negara, dan berjuang mengembalikan Irian Barat.
    4) Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas).
    Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang. Tugas Depernas : Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana dan Menilai Penyelenggaraan Pembangunan. Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depernas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS.
    Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan. 1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Tugas Bappenas adalah menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahuanan, baik nasional maupun daerah, mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan, menyiapkan serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS.
    5) Deklarasi Ekonomi (Dekon)
    Latar belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi adalah karena berbagai peraturan dikeluarkan pemerintah untuk merangsang ekspor (export drive) mengalami kegagalan, misalnya Sistem Bukti Ekspor (SBE). Sulitnya memperoleh bantuan modal dan tenaga dari luar negeri sehingga pembangunan yang direncanakan guna meningkatkan taraf hidup rakyat tidak dapat terlaksana dengan baik. Sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru guna perbaikan ekonomi secara menyeluruh yaitu Deklarasi Ekonomi (DEKON) dengan 14 peraturan pokoknya.
    Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum revolusi Indonesia. Strategi Dekon adalah mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang polanya telah diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari yaitu berdiri diatas kaki sendiri. Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
    Dalam tahap pelaksanaannya, peraturan tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan masalah inflasi, Dekon mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia, kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok, tampak dengan adanya kenaikan harga barang mencapai 400 % pada tahun 1961-1962, mengakibatkan beban hidup rakyat semakin berat.
    Kegagalan Peraturan Pemerintah disebabkan karena tidak terwujudnya pinjaman dari International Monetary Fund (IMF) sebesar US$ 400 juta, adanya masalah ekonomi yang muncul karena pemutusan hubungan dengan Singapura dan Malaysia dalam rangka Dwikora, politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara barat semakin memperparah kemerosotan ekonomi Indonesia.
    6) Kenaikan laju inflasi
    Latar Belakang meningkatnya laju inflasi yaitu penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan, nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan, anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar, pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada, upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil, penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak memberikan banyak pengaruh, penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
    Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran, diperparah dengan tindakan pemerintah yang menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya.
    Dampak yang ditimbulkan yaitu inflasi semakin bertambah tinggi, harga-harga semakin bertambah tinggi, kehidupan masyarakat semakin terjepit, Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekurangan neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa, ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa, pada tahun 1965 cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.
    Kebijakan pemerintah dalam keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi. Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut, uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari uang rupiah baru, dan tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan meningkatnya angka inflasi.
    7) Meningkatkan Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri.
    Pemerintah membangkitkan ekonomi agraris atau pertanian, sebab kurang lebih 80% penduduk Indonesia hidup dari bidang pertanian. Hasil pertanian tersebut diekspor untuk memperoleh devisa yang selanjutnya digunakan untuk mengimpor berbagai bahan baku/ barang konsumsi yang belum dihasilkan di Indonesia.
    Jika Indonesia tidak mampu memperoleh keuntungan maka akan mencari bantuan berupa kredit luar negeri guna memenuhi biaya import dan memenuhi kebutuhan masyarakat di dalam negeri. Sehingga Indonesia mampu memeprbesar komoditi ekspor, dari eksport tersebut maka akan digunakan untuk membayar utang luar negeri dan untuk kepentingan dalam negeri. Dengan bantuan kredit tersebut membuka jalan bagi perdagangan dari negara yang memberikan pinjaman kepada Indonesia.
    8) Pembentukan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP)
    Dikeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964 mengenai adanya Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP) dalam usaha perdagangan.
    Selain itu diadakannya peleburan bank-bank Negara. Presiden berusaha mempersatukan semua bank negara ke dalam satu bank sentral sehingga didirikan Bank Tunggal Milik Negara berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1965. Tugas bank tersebut adalah sebagai bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilakukan peleburan bank-bank negara seperti Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan tugas dan pekerjaan masing-masing. Tindakan itu menimbulkan spekulasi dan penyelewengan dalam penggunaan uang negara sebab tidak ada lembaga pengawas.
    Kegagalan pemerintah dalam menanggung masalah ekonomi, disebabkan karena semua kegiatan ekonomi terpusat sehingga kegitan ekonomi mengalami penurunan yang disertai dengan infasi, masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, tetapi diatasi dengan cara-cara politis, kemenangan politik diutamakan sedangkan kehidupan ekonomi diabaikan (politik dikedepankan tanpa memperhatikan ekonomi). Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangana antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya. Tidak ada ukuran yang objektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari suatu usaha. Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus. Kebangkrutan tidak dapat dikendalikan, masyarakat mengalami kesulitan hidup, kemiskinan, dan angka kriminalitas yang meningkat.
    9) Konfrontasi Ekonomi dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat
    Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi tersebut sebagai berikut :
    A) Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan pembatalan utang-utang RI kepada Belanda.
    B) Selama tahun 1957 dilakukan pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan Belanda, melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda, dan melarang penerbangan kapal-kapal Belanda, serta memboikot kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia.
    C) Selama tahun 1958-1959 dilakukan nasionalisasi terhadap ± 700 perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, dan mengalihkan pusat pemasaran komoditi RI dan Rotterdam (Belanda) ke Bremen, Jerman.
  • You might also like

    2 komentar:

    1. Terimakasih ,, artikel ini membantu pr saya. :)

      BalasHapus
    2. Ini pendapat sendiri ya? keren banget mas pemikirannya. lanjut dah

      BalasHapus

Sample Text

Selamat datang... Trimakasih telah berkunjung ke blog ini... ^^

Followers

Daftar Blog Saya

.. "Ballighu annii walau aayah.. (sampaikanlah walau hanya satu ayat)"

Translate

FEEDJIT Recommended Reading

FEEDJIT Live Traffic Feed

FEEDJIT Live Traffic Map