Analisis Kebijakan Publik: Pemahaman awal sebuah teori.
Beberapa kalangan berpandangan bahwa analisis
kebijakan tidak akan pernah dapat dijadikan sebuah teori. Hat tersebut
dikarenakan analisis kebijakan akan lebih bergerak pada sektor praktis dari
pada teoretis dalam kenyataannya. Seperti halnya manajemen, tidak ada teori
tentang manajemen, namun yang ada hanyalah pemahaman-pemahaman yang diterima
secara luas berkenaan dengan proses penyelenggaran manajemen itu sendiri yang
selanjutnya diajarkan oleh para akademisi. Akan tetapi pada kenyataannya
seorang manajer bagaimanapun akan lebih menyetahui seluk beluk proses manajemen
daripada apa yang diajarkan oleh para akademisi tersebut di dalam ruang
perkuliahan.
Berbicara menyenai teori, kita perlu
menggarisbawahi bahwa teori sebagaimana
menurut Schermerhorn (1993) adalah a set of concept and ideas that explains
and predict physical and social phenomena. Selanjutnya, meski masih terjadi
perdebatan akan gagasan ini, theori terbagi atas dua pemahaman, yaitu lay
theory dan scientific theory. Yang dimaksud dengan Lay Theories
adalah teori yang dikembangkan adalah teori yang dikembangkan berdasarkan
pengalaman (developed by themselves or learned from others over time and as
a result of their experiences). Adapun yang dimaksud scientific theories
adalah teori yang yang dikembangkan berdasarkan metode-metode ilmiah (that are developed trough scientific methods).
Jika kita sepakati bahwa analisis kebijakan
merupakan teori yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan pengalaman terbaik
para pelaku kebijakan, dan bukan atas dasar temuan, kajian akademik ataupun
berbagi bentuk penelitian ilmiah, berdasarkan pemahamn terkait Theori atas
rujukan tersebut, maka analisis kebijakan adalah lay theory dan bukan
scientific theory. Oleh karena itu, eksistensi dari “teori” analisis kebijakan
publik ini, akan bergantung pada sejauh mana keberhasilan-kegagalan produk dari
penyelenggaraan kebijakan publik itu sendiri.
Selanjutnya pertanyaan terkait pemanfaata teori
analisis kebijakan yang dilakukan oleh para analis kebijakan akan dihadapkan
pada keberadaan dari kalangan politisi yang umunya memegang kekuasaan secara
praktis untuk menyelenggarakan kebijakan terlepas dari campur tangan pihak
lain termasuk kalangan analis kebijakan. Karena pada kenyataannya, menurut
Jenkins-Smith (1990) analis kebijakan publik harus diakui mengikis “kekuatan
politik” termasuk di dalamnya demokrasi. Dalam konteks ini, sebagai ilustrasi,
seorang anggota parlemen pada dasarnya dapat mengambil kebijakan seusai dengan
kemauannya atas dasar kekuasaan tanpa perlu mengindahkan pertimbangan-pertimbangan
seorang analis kebijakan meski sebaik apapun studi terkait kebijakan tersebut
dilakukan, karena para legislator tersebut-lah yang sejatinya diberkan mandat
oleh publik, dan buka para analis kebijakan. Fakta ini disebut oleh ahli
kebijakan Sabatie sebagai kebijakan model mandat atau ideologi
(Sabatier, 2000).
Sebagai ilustrasi contoh dinamika kebijakan model
mandat terjadi di Indonesia, terutama pada awal-awal masa kemerdekaan. Pada
masa itu dinamika politik berbasis ideologi begitu terasa, di mana terdapat
tiga kekuatan besar yaitu Islam, Nasionalis, dan Komunis. Ketiga ideologi
tersebut mau-tidak –mau akan mempengaruhi arah kebijakan yang akan diambil oleh
Indonesia pada masa tersebut di mana partai yang berideologi Islam ingin
menerapkan pengelolaan negara berdasarkan nilai-nilai syariah sementara partai
nasionalis lebih memilih pengelolaan negara berdasarkan pendekatan-pendekatan
yang bahkan cenderung sosialis.
Selain model mandat sebagaimana dijelaskan
diatas, dikenal juga model analisis kebijakan dalam dinamika kebijakan
agenda. Pada aras ini setiap partai politik pada dasarnya mempunyai agenda
kebijakan yang sama, namun memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Contohnya,
pada pemilihan presiden Amerika Serikan tahun 2009, baik Obama dan John McCain
sebagai para kandaidat, memiliki agenda kebijakan yang sama yakni penurunan
pajak, yang menjadi perbedaan hanyalah besarannya saja.
Jika disimpulkan, secara garis besar, analisis
kebijakan model mandat memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Pragmatis,
sesuai dengan isu publik yang terkini.
2.
Masyarakat
sekuler, demokrasi maju.
3.
Contoh
negara: AS, Jerman, Belgia, Inggris.
4.
Tidak
ada beda “Buruh konservatif” atau “Republik Demokrat”
5.
Lebih
kepada “how” daripada “what”
Sedangkan pada model mandat/ideologi
ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
1.
Sesuai
dengan Ideologi partai
2.
Masyarakat
agamis, atau tradisional atau transisional, demokrasi dalam transisi atau
simbolik.
3.
Indonesia
pada awal kemerdekaan
4.
Partai
Islam membawa ideologi syariah, partai nasionalis membawa sentimen nasion,
partai komunis membawa komunisme.
5.
Lebih
kepada “what” daripada “how”
Demikian sebagai pedahuluan dalam memahami
analisis kebijakan publik. Selanjutnya analisis kebijakan publik modern akan
dihadapkan pada berbagai dinamika, seperti penyelenggaraan kebijakan politik
dalam ranah globalisasi yang pada masa sekarang hampir setiap penyelenggaraan kebijakan publik dalam suatu
negara akan selalu bersinggungan dengan kepentingan-kepentingan global baik
negeara tersebut dalam konteks “mempengaruhi” ataupun “dipengaruhi”.
Referensi:
Nugroho, Riant. 2011.
Public Policy: Dinamika Kebijakan-Analisis
Kebijakan-Manajemen Kebijakan. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar